Linamasa.com – Pada Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2022 mengenai Hari Penegak Kedaulatan Negara, Soeharto yang merupakan Presiden Kedua Republik Indonesia ternyata tidak ada dalam daftar tersebut. Atas kondisi tersebut, membuat sebagian pihak melayangkan kritik karena menilai pihak pemerintah saat ini tampak menihilkan peran penting dari seorang sosok ‘the Smiling General’ pada Serangan Umum 1 Maret 1949.
Bagian poin tertentu menimbang pada Keputusan Presiden 2/2022, tragedi yang dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949 dianggap sebagai salah satu serangkaian penting dalam sejarah perjuangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam upaya melawan penjajah.
“KESATU memilih dan menetapkan tanggal 1 Maret sebagai peringatan Hari Penegakan Kedaulatan Negara. KEDUA, sebagai peringatan Hari Penegakan Kedaulatan Negara, tanggal 1 Maret adalah bukan hari libur nasional,” itulah bunyi dari Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2022, dikutip dari laporan yang diunggah oleh pihak Kementerian Sekretariat Negara pada hari Jumat, 25 Februari 2022.
Dari unggahan tulisan yang dilakukan oleh pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menjelaskan bahwa tragedi Serangan Umum 1 Maret tersebut ialah usulan yang diberikan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Kala itu, rakyat bersama – sama dengan tentara melakukan penyerbuan Daerah Istimewa Yogyakarta yang berhasil diduduki kembali oleh para penjajah Belkita. Setidaknya, untuk bisa mengambil Daerah Istimewa Yogyakarta, rakyat bersama dengan tentara hanya membutuhkan waktu 6 jam saja.
Tragedi Serangan Umum 1 Maret tersebut, membuat dunia menjadi lebih sadar bahwa keberadaan Bangsa Indonesia itu benar – benar masih nyata ada. Upaya untuk merebut kedaulatan negara tersebut berlanjut melalui Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan hingga tanggal 27 Desember 1949. Saat itu, pemerintah Belkita sudah mengakui kedaulatan Bangsa Indonesia.
Meskipun demikian, Keputusan Presiden tidak menunjukkan secara eksplisit keberadaan nama Presiden Kedua Republik Indonesia Soeharto. Melihat fakta tersebut, beberapa pihak pun merasa geram, terutama mereka yang masih ada hubungan erat dengan era pemerintahan Orde Baru.
Priyo Budi Santoso (Sekretaris Jenderal Partai Berkarya) mewanti – wanti kepada semua pihak sebaiknya tidak melupakan atau bahkan menghilangkan sejarah Bangsa Indonesia. Tak hanya Sri Sultan Hamengku Buwono bersama Jenderal Soedirman saja yang mempunyai peran penting, namun Presiden Kedua Republik Indonesia Soeharto juga ikut andil dalam tragedi Serangan Umum 1 Maret 1949.
“Ada baiknya untuk tidak melupakan atau bahkan menghilangkan sejarah Bangsa Indonesia. Siapa pun itu tak boleh melakukannya, atas nama apa pun itu tidak diperkenankan untuk menghilangkan sejarah bangsa sendiri,” ucap Priyo Budi Santoso (Sekretaris Jenderal Partai Berkarya)
Meskipun demikian, Priyo Budi Santoso (Sekretaris Jenderal Partai Berkarya) memberikan pengakuan bahwa dirinya tak merasa keberatan jika nama Presiden Kedua Republik Indonesia Soeharto dihilangkan dari daftar yang dibuat tersebut dan tidak akan meminta untuk dikoreksi kembali.
“Saya sendiri sih tidak merasa keberatan, mungkin ada kekhilafan dari Presiden Joko Widodo. Presiden juga seorang manusia biasa, namun dari hal tersebut, semua orang juga tahu,” tambah Priyo Budi Santoso (Sekretaris Jenderal Partai Berkarya).
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Dave Laksono (Ketua DPP Partai Golkar). Ia mengadopsi istilah populer yang saat itu pernah diperkenalkan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia Soekarno yakni ‘Jas Merah’. Istilah tersebut merupakan singkatan dari ‘Jangan Sekali – kali Meninggalkan Sejarah’.
“Selama ini kita semua selalu diajarkan, bahkan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia Soekarno tentang Jas Merah. Semua kejadian adalah sejarah, apalagi jika tercatat secara resmi. Dokumen yang berkaitan tersebut juga termasuk dalam bagian dari sejarah,” ucap Dave Laksono (Ketua DPP Partai Golkar) pada hari Jumat, tanggal 04 Maret 2022.
Menurut keterangan yang diberikan oleh Mahfud MD (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan) bahwa Keputusan Presiden yang ditkitatangani oleh Presiden Jokowi tidak termasuk dalam kategori buku sejarah Bangsa Indonesia. Artinya dalam hal ini, tidak ada kewajiban untuk memasukkan semua nama pihak yang berhubungan dengan kejadian Serangan Umum 1 Maret 1949 tersebut.
[irp posts=”200″ name=”PA 212 Minta Jokowi Pecat Menag Yaqut Buntut Polemik Toa Masjid”]Lanjutnya, tokoh – tokoh yang dimasukkan dalam daftar hanyalah para penggerak dan penggagas pada Serangan Umum 1 Maret 1949 saja. Mereka meliputi Presiden Pertama Republik Indonesia Soekarno, Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia Moh Hatta, Panglima Jenderal Besar Soedirman dan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Bertolak belakang dengan Mahfud MD, menanggapi pernyataan yang diberikan olehnya, Fadli Zon (Anggota Komisi I DPR RI) angkat bicara bahwa pernyataan tersebut adalah salah. Karena saat terjadi Serangan Umum 1 Maret. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh Hatta sedang ditawan di daerah Menumbing.
Mahfud MD pun menyimpulkan, ketiadaan nama Presiden Pertama Republik Indonesia Soeharto dalam daftar bukan berarti menghilangkan sejarah. Karena namanya tetap ada bersama tokoh lain di naskah akademik.